RiwayatKH.Abdul Hamid ( Kiyai Hamid Pasuruan ) KH. Abdul hamid bin Abdullah bin Umar Basyaiban BaAlawi Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Tiga tahun kemudian, cucu

- KH Abdul Hamid Pasuruan atau kerap disapa Mbah Hamid, adalah seorang ulama dari Rembang, Jawa Tengah. Meski lahir di Rembang, ia menghabiskan hidupnya di Pasuruan, Jawa Timur hingga dikenal sebagai KH Abdul Hamid Pasuruan. KH Abdul Hamid adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah di dikenal sebagai sosok ulama yang sangat sabar, KH Abdul Hamid juga dipercaya memiliki karomah wali. Berikut biografi singkat KH Abdul Hamid Pasuruan. Baca juga Biografi Gus Miek, Ulama yang Memiliki Karomah WaliMemiliki nama asli Abdul Mu'thi KH Abdul Hamid lahir pada 22 November 1914 di Desa Sumber Girang, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir dengan nama Abdul Mu'thi, dan kerap dipanggil dengan "dul" saja. Ketika kecil, KH Abdul belajar mengaji kepada dua ulama besar di Lasem, yakni KH Ma'shum dan Kh Baidhawi. Di samping itu, ia memiliki hobi bermain sepak bola, yang sempat membuat sang ayah khawatir karena waktu mengajinya berkurang. Sejak kecil KH Abdul diyakini menunjukkan tanda-tanda sebagai wali atau kekasih Allah karena memiliki banyak karomah atau kelebihan yang sulit dijangkau akal. Orangyang Berkedudukan Tinggi Pada Kiamat Nanti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat
BUGUL KIDUL, Radar Bromo – Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan berganti. HM Muhammad Nailur Rohman terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Gus Ammak- sapaan akrab HM Muhammad Nailur Rohman terpilih secara aklamasi Minggu 2/2 di Konfercab PCNU Kota Pasuruan ke 9. SIAPKAN PENGURUS Usai terpilih, HM Nailur Rohman kanan dan KH Abdul Halim Mas’ud akan menyiapkan pengurus PCNU. Foto Fahrizal Firmani/Jawa Pos Radar Bromo Konfercab ini sendiri berlangsung selama dua hari di Pondok Pesantren Ponpes Bayt Al Hikmah Kota Pasuruan pada 1-2 Februari. Dalam konfercab ini pula diputuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Ia menggantikan Rais Syuriah sebelumnya yakni KH Said Kholil. Proses pemilihan Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah PCNU ini berlangsung lancar. Setelah sebelumnya dibentuk ahlul wal aqdi AHWA terlebih dahulu. AHWA ini beranggotakan enam orang dan diketuai oleh KH Said Kholil. Lima anggota AHWA ini diantaranya adalah KH Idris Hamid, KH Abdul Halim Mas’ud, Ustadz Chudori Nur, Ustadz Mundzir dan Kyai Abdulloh Shodiq. Usai berembuk, AHWA ini langsung memutuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah dan KH Muhammad Nailur Rohman sebagai Ketua Tanfidziyah. Gus Halim-sapaan akrab KH Abdul Halim Mas’ud mengungkapkan, sebagai Rais Syuriah yang baru, dirinya akan melakukan penguatan organisasi dan konsolidasi. Diharapkan di semua tingkatan ada pertemuan antar pengurus. “Selama ini banyak pengurus yang bingung apa yang harus dilakukan. Nah dengan memperkuat komunikasi maka mereka akan saling membicarakan rencana yang baik bagi PCNU,” ungkapnya. Gus Ammak menyebut rencana pengembangan PCNU tidak terlepas dengan program kerja di musyawarah kerja musker tingkat cabang. Tentunya dengan pembentukan pengurus terlebih dahulu. Pimpinan Ponpes Bayt Al Hikmah ini mengaku, sejauh ini secara garis besar di bidang keagamaan, dakwah dan layanan sosial di PCNU sudah berjalan dengan baik. Namun ia tidak menepis ada lembaga yang memang perlu diperhatikan. Seperti dalam bidang perekonomian. Selain itu, cucu dari KH Abdul Hamid ini, ingin memaksimalkan sebutan kota santri yang melekat di Kota Pasuruan. Yakni dengan lebih mendekat pada pemudanya sebab komunitas pemuda di Kota Pasuruan cukup besar. Misalnya dengan hobi dan seni. “Tentu pendekatan mileneal yang akan kami lakukan pada pemuda. Identitas Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang melekat di NU di Kota Pasueuaj juga akan lebih dioptimalkan,” terangnya. riz/fun BUGUL KIDUL, Radar Bromo – Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan berganti. HM Muhammad Nailur Rohman terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Gus Ammak- sapaan akrab HM Muhammad Nailur Rohman terpilih secara aklamasi Minggu 2/2 di Konfercab PCNU Kota Pasuruan ke 9. SIAPKAN PENGURUS Usai terpilih, HM Nailur Rohman kanan dan KH Abdul Halim Mas’ud akan menyiapkan pengurus PCNU. Foto Fahrizal Firmani/Jawa Pos Radar Bromo Konfercab ini sendiri berlangsung selama dua hari di Pondok Pesantren Ponpes Bayt Al Hikmah Kota Pasuruan pada 1-2 Februari. Dalam konfercab ini pula diputuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Ia menggantikan Rais Syuriah sebelumnya yakni KH Said Kholil. Proses pemilihan Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah PCNU ini berlangsung lancar. Setelah sebelumnya dibentuk ahlul wal aqdi AHWA terlebih dahulu. AHWA ini beranggotakan enam orang dan diketuai oleh KH Said Kholil. Lima anggota AHWA ini diantaranya adalah KH Idris Hamid, KH Abdul Halim Mas’ud, Ustadz Chudori Nur, Ustadz Mundzir dan Kyai Abdulloh Shodiq. Usai berembuk, AHWA ini langsung memutuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah dan KH Muhammad Nailur Rohman sebagai Ketua Tanfidziyah. Gus Halim-sapaan akrab KH Abdul Halim Mas’ud mengungkapkan, sebagai Rais Syuriah yang baru, dirinya akan melakukan penguatan organisasi dan konsolidasi. Diharapkan di semua tingkatan ada pertemuan antar pengurus. “Selama ini banyak pengurus yang bingung apa yang harus dilakukan. Nah dengan memperkuat komunikasi maka mereka akan saling membicarakan rencana yang baik bagi PCNU,” ungkapnya. Gus Ammak menyebut rencana pengembangan PCNU tidak terlepas dengan program kerja di musyawarah kerja musker tingkat cabang. Tentunya dengan pembentukan pengurus terlebih dahulu. Pimpinan Ponpes Bayt Al Hikmah ini mengaku, sejauh ini secara garis besar di bidang keagamaan, dakwah dan layanan sosial di PCNU sudah berjalan dengan baik. Namun ia tidak menepis ada lembaga yang memang perlu diperhatikan. Seperti dalam bidang perekonomian. Selain itu, cucu dari KH Abdul Hamid ini, ingin memaksimalkan sebutan kota santri yang melekat di Kota Pasuruan. Yakni dengan lebih mendekat pada pemudanya sebab komunitas pemuda di Kota Pasuruan cukup besar. Misalnya dengan hobi dan seni. “Tentu pendekatan mileneal yang akan kami lakukan pada pemuda. Identitas Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang melekat di NU di Kota Pasueuaj juga akan lebih dioptimalkan,” terangnya. riz/fun Artikel Terkait
Berikutini Daftar Kiai dan Habaib NU Pendukung Prabowo-Sandi. 1. KHR. Kholil As'ad, PP. Walisongo Mimbaan Situbondo (putra pendiri NU, Rais Syuriah PBNU) 2. KH. Maulana Kamal Yusuf (A'wan Syuriah PBNU, Mantan Rais Syuriah PWNU DKI Jakarta) 3. KH. Hasib Wahab Hasbullah, PP. Tambakberas (putra pendiri NU, Ketua PBNU) 4. KH. Fuad Noerhasan, PP. Sidogiri Pasuruan (cucu pendiri NU) 5.
KH. Abdul Hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa 25 Desember 1985. Beliau adalah Kyai asal Pasuruan Jawa Timur Sejak kecil sekitar 12-13 tahun, Ayahandanya mengirimkan ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Di pondok tersebut Hamid hanya mengeyam pendidikanya satu setengah tahun, kemudian beliau pindah ke Pondok Tremas, Pacitan, Pondok yang di asuh oleh KH. Dimyathi. KH Abdul Hamid adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Kyai Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. Sehari-hari, Hamid kecil jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Bahkan, Hamid kecil bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi itu. Menjadi Blantik Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik broker sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Baca juga “Biografi Kyai Maimun Zubair.” Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Baca juga “Biografi Gus Baha.” Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. Kisah Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Pengasuh Pondok Pesantren Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir pengasuh Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem. Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah. Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat. Hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru. Akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal. Berkat perkembangan pondok pesantren yang di asuh oleh beliau, akhirnya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Pesantren beliau terkenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah KH. Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar , Pasuruan Jawa Timur Indonesia Dalam sebuah ceramahnya Gus Baha pernah menyapaikan beliau adalah salah satu kyai yang ikhlas. Biografi Singkat Nama KH. Abdul HamidLahir 22 November 1914 4 Muharram 1333 HWafat 25 Desember 1985 9 Rabiul Awwal 1403 HIstri NafisahNama Ayah KH. Abdullah bin KH. UmarNama Ibu Nyai Raihanah binti KH. Shiddiq Pendidikan Pondok Pesantren Talangsari, Jember;Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng;Pondok Pesantren Termas, Pacitan, pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan Sumber
Yakni Abdul Wahid Zain, yang merupakan cucu dari Ketua Umum PBNU periode pertama (1926-1928) Hasan Sagipodin (Hasan Gipo), kemudian Yusuf Husni, yang merupakan putra dari Kiai Syakir, anggota Laskar Hizbullah. KH Abdul Hamid dari Pasuruan, KH Zubair Sarang Rembang, KH Bisri Syansuri pendiri Ponpes Denanyar, serta KH Abdullah Abas Buntet KH Achmad Qusyairi, lahir di dukuh Sumbergirang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah pada 11 Sya’ban 1311 H atau bertepatan pada 17 Februari 1894 M. Beliau adalah sosok ulama yang begitu alim. Masyarakat Pasuruan dan Glenmore Banyuwangi pun mengakuinya. Seorang wali Allah yang menjadi pembimbing umat, dan bak pohon rindang yang lebat buahnya. Setiap ada orang yang sowan kepada beliau pasti ada ilmu yang mengalir deras dari setiap perkataannya, sama sekali tidak medit pelit ilmu. Setelah berkontribusi terhadap dakwah Islam di Pasuruan, kala itu Kiai Achmad Qusyairi sempat menjadi buronan tentara Jepang lantaran pengaruhnya begitu kuat menggerakkan massa Islam dan diwacanakan akan dicalonkan sebagai Adipati Bupati Basuruan. Dari kabar tersebut menjadi alasan tentara Jepang mencari rekam jejak Kiai Achmad. Lalu Kiai Achmad untuk menghindari pencarian tersebut, beliau sempat tinggal di pedalaman pedesaan Kawasan Jember, hingga pada akhirnya menetap di Dusun Sepanjang Wetan, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, yang dahulu masih bernama Kecamatan Kalibaru. “Oreng gun norok akompol ben Kiaeh Achmad Qusyairi, tekka’a tak ngajih, apa pole ngajih ka model epon engak Kiaeh Qusyairi, aroa padeh bheih bik ngajih seseorang walau hanya sekadar ikut berkumpul dengan Kiai Acmad Qusyairi, apa lagi mengaji dengan orang yang modelnya seperti Kiai Acmad Qusyairi, meskipun tidak mengaji kepadanya, itu sama saja dengan mengaji” tutur KH Hadi bin Achmad Qusyairi dalam Haul KH. Achmad Qusyairi ke-47 di Glenmore. Begitu juga KH. Abdul Hamid, Pasuruan, menantu KH. Acmad Qusyairi. Orang hanya sekedar norok buntek mengikuti kemana Kiai Abdul Hamid pergi meskipun tidak mengaji selayaknya di pesantren, hal itu bisa dikatakan mengaji. Sebab kenapa? Tingkah laku kedua ulama tersebut baik Kiai Achmad Qusyairi dan Kiai Abdul Hamid adalah suatu pelajaran dan mengandung banyak ilmu yang begitu besar manfaatnya. Ceramah KH Hadi bin Achmad Qusyairi dalam acara Haul KH Achmad Qusyairi ke-47 di Glenmore, Channel Youtube Santri Milenial Indonesia “Haul KH Ahmad Qusyaeri Ke-47 di Ponpes As-Shiddiqi”, dipublikasikan pada 19 Juni 2019. Dalam historis pendidikannya, KH Achmad Qusyairi pernah nyantri kepada Syaikhona Kholil al-Bangkalani, Madura. Tidak diragukan lagi bagaimana kualitas keilmuan Kiai Kholil yang selama ini dikenal sebagai wali Allah dan guru para Kiai besar di tanah Jawa dan Madura. Maka dari itu, tidak heran jika Kiai Achmad Qusyairi pun menjadi sosok yang begitu alim dan teruji keilmuannya karena barokah para gurunya. Selain terkenal alim dan derajat ilmunya yang tinggi, Kiai Achmad juga dikenal sebagai ahli ibadah, mengawal sunnah Nabi, ahli ilmu falak astronomi dan juga sebagai seorang sufi. Hamid Ahmad, KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq, Pasuruan Lembaga Informasi dan Studi Islam L’Islam, Juni 2017, hal 56. Kiai Qusyairi belajar ilmu falak semasa di Masjidil Haram kepada Syekh Muhammad Hasan Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Fasuruani, seorang ahli ilmu falak waktu itu. Dinamakan al-Baweani karena beliau berasal dari pulau kecil bernama Bawean yang terletak di sebelah utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Terkadang nama beliau tidak ditambahkan al-Fasuruani. Burhanuddin Asnawi, Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX – XX, Gresik LBC Press, September 2015, 45-46. Kiai Muhammad Hasan Asy’ari wafat dan dimakamkan di tanah Pasuruan. Maka dari itu Kiai Achmad Qusyairi juga ahli ilmu falak putra Indonesia dengan karyanya yang berjudul “Al-Jadawilul Falakiyah”. Kini naskah teks asli kitab Al-Jadawilul Falakiyah karangan Syekh Achmad Qusyairi berada di Leiden University, Belanda, Wawancara KH Musthafa Helmy, cucu KH Achmad Qusyairi, Agustus 2020. Kiai Achmad menjuluki Kiai Muhammad Hasan Asy’ari dengan julukan al-allamah al-falaki asy-syahir orang yang sangat alim, ahli falak dan terkenal. Beliau juga menyebutkan bahwa Syekh Asy’ari merupakan akhiru ahlir rashd ahli pengintai bulan yang terakhir. Begitulah pengakuan Kiai Achmad terhadap gurunya yang memang begitu ahli dalam bidangnya. Apa-apa yang kerap kali diamalkan oleh Kiai Achmad Qusyairi dalam keseharian hidupnya baik itu dalam segi kebiasaan dan hal lainnya juga ditiru dan diistiqomahkan oleh Kiai Hasan. Kiai Hasan Abdillah juga menerapkan sunnah-sunnah Nabi dalam hidupnya. Seperti halnya mengkonsumsi sedikit garam sebelum dan sesudah makan. Sama seperti halnya Kiai Achmad Qusyairi, dalam karya Hamid Ahmad dikatakan bahwa beliau bisa sembuh dari penyakit yang divonis oleh dokter cukup berat, berkat menerapkan sunnah Nabi Muhammad saw dengan mengkonsumsi sedikit garam sebelum dan sesudah makan. Tidak hanya soal tata cara makan, banyak sunnah-sunnah Nabi yang kerap kali diterapkan oleh Kiai Achmad Qusyairi juga ditiru oleh Kiai Hasan Abdillah, bahkan begitu istiqomah. Dalam buku Hamid Ahmad, KH Ahmad Qusyairi bin Shiddiq Pecinta Sejati Sunnah Nabi, tercatat bahwa ada putra Kiai Achmad yang melanjutkan sunnah seperti yang beliau lakukan dengan konsisten hingga akhir hidupnya, ia adalah KH Hasan Abdillah salah satu putra Kiai Achmad.Kebiasaan yang lain juga diceritakan oleh putra sulung Kiai Hasan Abdillah, sebagai berikut “Kebiasaan beliau KH. Hasan Abdillah itu, makan bersama, memulai makan dengan garam dan ditutup dengan garam, kalau ke kamar kecil selalu pakai peci, sholat ya berjama’ah, dan yang paling beliau tidak suka adalah berhutang, anak-anaknya semua dilarang berhutang, saya dulu dimarahin waktu kredit rumah sama beliau, terus saya dulu itu juga mau bikin bank berkreditan rakyat BBR sama teman-teman, buh! dimarahi sama abah, tidak dibolehin” tutur Kiai Musthafa Helmy. KH Musthafa Helmy, wawancara, Glenmore, 29 Agustus 2020. Adapun saksi yang turut mengakui kealiman dan keilmuan Kiai Hasan yang tidak jauh dari Kiai Achmad Qusyairi yakni saudara Kiai Hasan sendiri “Elmoh, akhlak Syekh Achmad Qusyairi, noron ka Kiaeh Hasan Abdillah se lebih shohih neka kera-kera parak antarah sangan polo Ilmu, akhlak, Syekh Achmad Qusyairi, nurun ke Kiai Hasan Abdillah yang lebih shohih kira-kira mendekati antara sembilan puluh,” tutur Kiai Hadi Achmad di acara haul Kiai Achmad Qusyairi. Ali Mursyid Azisi, alumnus Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur ABBASABDUL JAMIL dari pesantren buntet Cirebon dan KH AMIN SEPUH dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon." KH Amin Sepuh adalah seorang ulama legendaris dari Cirebon, selain dikenal sebagai ulama, beliau juga pendekar yang menguasai berbagai ilmu bela diri dan kanuragan, Beliau juga seorang pakar kitab Kuning sekaligus jagoan perang.
Biografi KH Abdul Hamid © KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa 25 Desember 1985. Pendidikan Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda. “Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. “Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur. Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf. Menjadi Blantik Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik broker sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Pages 1 2 3
HaulKH Abdul Hamid Pasuruan ke 38. KH Abdul Hamid Biografi KH Abdul Hamid KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur.
KomunitasPASURUAN - Haul KH Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar yang ke -39, yang akan digelar di Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah, Jalan KH Abdul Hamid Gg 8, Kekurahan Kebonsari, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan, Senin (26/10/2020) nanti, dipastikan digelar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
\n\n cucu kh abdul hamid pasuruan
Terbaru Blarr.!! Mapolsek Purwosari Terbakar APBD Tahun 2021 Disahkan Jadi Perda, Gus Ipul: Perlu Kerjasama dengan Semua Stakeholder Tesis S2 LaNyalla Jelaskan Pembajakan Calon Presiden oleh Parpol Ciderai Sistem Pancasila Pasuruan- Haul ke-39 KH Abdul Hamid Pasuruan digelar virtual. Namun, ribuan jemaah tetap mendatangi acara. Di area Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah yang merupakan pusat acara, dibatasi 1.000 jemaah. Sementara di luar area ponpes seperti di kawasan alun-alun dan Masjid Agung Al-Anwar dipenuhi jemaah.
Dalamartikel NU Online Jatim, Mengenal Lebih Dekat Sosok Mbah Hamid Pasuruan, diceritakan bahwasnnya KH Abdul Hamid Pergi ke Baghdad setiap tahun. Bermula dari kisah yang dialami langsung oleh Kiai Masyhudi, Sanan Kulon, Blitar, yang diceritakan sekitar tahun 2007 hingga 2008 sebelum wafat.
Lihatselengkapnya dari Puisisasi Sya'ir Do'a Munajat Sholawat Cinta Di Langit Kerinduan di Facebook PengasuhPondok Pesantren Salafiyah dan Bayt Al Hikmah Pasuruan KH M Idris Hamid mengeluarkan sebuah maklumat terkait pemilihan Gubernur Jawa Timur (Jatim) mendatang. Khofifah Ziarah ke Makam KH Abdul Muchith Muzadi di Jember. 7 Juni 2018, 21:14:26 WIB. Cucu Pendiri NU Kawal Pemenangan Gus Ipul-Puti. 9 Mei 2018, 15:17:08 WIB. KHAbdul Hamid Pasuruan. 656 likes · 1 talking about this. Mengenang KH Abdul Hamid Ungkapini.. Gus Amak (Cucu KH Abdul Hamid Pasuruan) - Demi Merajut KeIndonesiaan. @achmad thida chanel, #ceramah, #nahdlatululama, #islam, #indonesia, #dak
KHMuhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa).
SYIIR DO'A KH. ABDUL HAMID PASURUAN بسم الله الرّحمن الرّحيم يَا رَبَّنا اعْتَرَفْنا * بِأَنَّنَا اقْتَرَفْنَا Wahai
KH Abdul Hamid "Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah," katanya. cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Pasuruan
PASURUAN- KADENEWS.COM : Mohammad Nailur Rohman (31) alias Gus Amak cucu KH Abdul Hamid Pasuruan, mengalami kecelakaan di tol Gempol - Pasuruan (Gempas) KM 780.200/A, Senin (9/9/2019). Setelah kejadian, Gus Amak di RSUD Bangil. Informasi yang dihimpun, mobil Mitsubishi Pajero nopol N 1014 WA menghantam pembatas jalan lalu terguling dan masuk parit di Gempas. Saatditanya perihal arah dukungan NU dalam pemilihan Walikota Pasuruan, cucu KH Abdul Hamid ini mengatakan NU tidak mengurusi politik praktis. "Jadi garis politiknya NU bukan mengurusi dinamika politik praktis. Tapi NU tetap akan mengawal proses politik di Indonesia, khususnya Kota Pasuruan," jelasnya. z1CPqw.